Shofar: Bulan Keberuntungan

Shofar di dalam bahasa Indonesia sering di artikan dengan’’ pesimis atau sial’’. Orang Arab, jahiliyyah kuno (sebelum islam), dan sebagian lagi yang hidup di era modern (internetisasi), ternyata juga masih percaya dengan hari sial (shofar). Bahkan, telivisi, juga menyajikan acara-acara yang berbau ramalan-ramalan nasib seseorang. Dan, tidak sedikit orang meramal, bahwa bulan al-Syura dan Shofar, termasuk bulan yang membawa sial. Masih banyak dari manusia modern yang percaya dengan ramalan-ramalan, dan mistis-misti yang kadang menyesatkan.

Di dalam hitungan Jawa, masih banyak keyakinan bahwa bulan dan waktu tertentu dianggap sial. Di dalam literatur sejarah, kaum Tsamud, menganggap sial Nabi mereka Shalih. Kehadiran Nabi (utusan-Nya), justru membawa petaka bagi tsamud, yang notabene tidak percaya bahwa Allah Swt sebagai pencipta, dan Nabi Sholih adalah pembawa berkah dan keberuntungan. Di dalam sebuah ayat, Allah Swt berfirman:

(قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ) [النمل: 47]

Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu”. [An-Naml (27: 47]

Orang Arab Jahiliyyah kuno (Qurais), berangapan bahwa Nabi Muhammad adalah pembaca petaka dan bencana (sial), sebagaimana keterangan al-Qur’an waktu itu. Oleh karena itu, orang kafir Qurais Makkah, berusaha sekuat tenaga, dengan berbagai cara, bagaimana caranya menyingkirkan Nabi Saw. Bahkan, mereka tidak segan-segan, harus berbuat kasar, curang, untuk melenyapkan Nabi Saw yang dianggab membawa sial bagi penduduk Makkah sang penyembah berhala.

(وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ) [النساء: 78].

dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. [An-Nisa`(3 : 78]

Tidak benar apa yang dilakukan kuam Nabi Nuh dan juga kaum jahiliyyah kuno. Sesungguhnya, semua kejadian itu tidak terlepas dari kekuasaan tuhan yang mutlak atas mahluknya. Orang tidak diperbolehkan menyalahkan orang lain, atau menganggab bulan, hari, malam tertentu penyebab kesialan. Manuasia, hanya diperbolehkan menganalisa, sebab-sebab kejadian, atau musibah yang telah dialami tanpa menyalahkan bulan atau waktu. Selanjutnya, manusia itu harus pandai-pandai mengambil hikmah dari sebuah kejadian atau musibah yang menimpa.

Memang, tidak dipungkiri, Allah Swt memberikan wakt-waktu tertentu yang memiliki keistimewaan. Bukan hanya waktu, tuhan juga menjadikan tempat-tempat tertentu memiliki kelebihan dan kesakralan. Seperti; hari jum’at, bulan ramadhan, termasuk hari dan bulan yang sangat istimewa. Sedangkan , kota Makkah dan Madinah, merupakan dua tempat sacral (al-Haramain) yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki tempat lainnya.

Bukan berarti, jika tinggal dikota suci Makkah atau Madinah, lantas manusia tidak mendapat ujian, cobaan, atau musibah. Dimanapun manusia berada, ia tidak akan lepas dari ujian. Sebab, semua yang terjadi pada seseorang, merupakan kehendak Allah Swt, sebagaimana firman-Nya.

قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ) [النساء: 78،79]

Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisa`(3 : 78-79]

Pernyataan Allah Swt di atas menjadi sebuah jawaban nyata, bahwa tidak ada bulan atau waktu yang sial, kecuali semua itu dari-Nya. Terkait dengan bulan Shofar, tidak ada alasan bagi kita dengan menganggab bahwa bulan ini bulan Sial. Sehingga manusia tidak mau melakukan aktivitas positif, seperti; menikah, membangun rumah, berlayar. Manusia bisa melakukan aktifitas pada bulan apa saja, dengan catatan setiap aktifitas postif itu diawali dengan niat karena Allah Swt. Jadi, bulan Shofar itu tetap menjadi bulan istimea dan mulia. Sebuah pernyataan Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, dalam sebuah ketereangan hadisnya,:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر وفر

Nabi .aw menuturkan:’’Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada burung hantu, tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Pernyataan Nabi Saw itu adalah sebuah jawaban, bahwa assumsi negative orang-orang Jahilyyah pada masa Nabi, terhadap sesuatu tidak benar.  Pada  masa Jahiliyyah,  ada sebuah keyakinan apabila burung (hantu), tersebut hinggap pada rumah salah seorang mereka, maka dia akan mendapat kesialan, seraya mengatakan : “Burung ini membawa kabar buruk tentang aku, atau salah seorang penghuni rumahku.”

Di dalam keyakinan orang-orang Jawa, ada sebuah keyakinan bahwa, apabila ada burung hantu berbunyi ditenggah malam, bertanda aka nada pencuri (maling). Realitasnya, kehidupan saat ini banyak maling dan pencuri dimana-mana, akan tetapi burunganya tidak ada, dan tidak berbunyi lagi. Jadi, dunia modern sering kali membuktikan bahwa keyakinan itu tidak benar.

Makna sabda Nabi: “tidak ada (kesialan) pada bulan shafar”, pendapat yang benar bahwa orang-orang jahiliyyah dulu menganggap sial bulan Shafar, mereka mengatakan bahwa bulan itu adalah bulan sial. Maka Nabi membantah keyakinan tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Walaupun ada sebuah pendapat, bahwa pada ahir bulan Shofat, tepatnya pada Rabu Wekasan, akan diturunkan banyak jenis penyakit.  Yang demikian ini, jika difahami secara konteporer, akan menjadi sebuah motivasi untuk berbuat baik,dan berdo’a agar terhindar dari beragam penyakit dan musibah.

Tentang Abdul Adzim

Abdul Adzim Irsad, telah menyelesaikan pendidikan sarjana bahasa Arab di Umm Al-Qura University Makkah, sekarang sedang menempuh program S3, jurusan pendidikan bahasa Arab di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pos ini dipublikasikan di Pendidikan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar