Politisasi Penentuan Hari Raya Idul Fitri

Hari raya Idul Fitri sebentar lagi, semua orang sudah mempersiapkan diri hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Uang baru, baju baru, serta perabotan rumah juga baru, semua serba baru. Seolah-olah, hari raya identik dengan hal-hal yang baru. Asalkan, jangan sampai istri atau suaminya ikut-ikutan baru. Biarkan istri tetap yang lama, tetapi penampilan dan gayanya lebih menarik, sehingga seolah-olah baru  menikah.

Terkait dengan hari raya, alangkah indahnya se-andainya hari raya itu dirayakan bersama-sama, tanpa ada politisasi di dalamnya. Pemerintah yang terdiri dari berbagai elemen organisasi islam, seperti; NU (Nahdotul Ulama’), Muhammadiyah, Persis, Al-Irsad menyatu dan bergabung bersama-sama dalam pemerintah. Semua mestinya sepakat untuk menyambut hari kemenangan bersama-sama, bukan bangga dengan kelompoknya masing-masing.

Dengan alasan apapun, mestinya tetap menjadikan pemerintah sebagai rujukan pertama untuk menentukan 1 Syawal. Orang sering mengatakan:’’ perbedaan itu rahmat’’. Istilah ini ada benarnya, tetapi kurang tepat jika digunakan untuk penentuan hari raya sebagai perbedaan membawa rahmat. Jujur, saja justru kebersamaan itu yang membawa rahmat, bukan perbedaan. Sebab, perbedaan sekarang seringkali menjadikan identitas politik atau organisai tertentu. Jika mau, dan merujuk pada Nabi Saw, ternyata sepanjang hidupnya, Nabi Saw tidak pernah menentukan 1 Syawal berdasarkan itungan, tetapi menggunakan ru’yah (melihat bulan). Dan, selama hidupnya, beliau selalu merayakan puasa bulan Ramadhan lebih banyak 29 hari. Sementar, merayakan puasa 30 hari hanya 1 kali. Ini bukan berarti, Nabi Saw, tidak memahami al-Qur’an, atau tidak bisa membaca, atau belum menemukan peralatan canggih. Tetapi, karena beliau Saw, mengajarkan kepada semua pengikutnya agar senantiasa mengikuti dirinya di dalam menentukan Awal 1 Syawal.

Menurut hebat saya, akan semakin indah jika jika hari raya itu tidak berbeda alias bebarengan. Sebab, dengan merayakan bersama, sudah pasti akan membawa rahmat yang sesungguhnya. Sebab, Nabi Saw sangat menyukai persatuan dan kebersamaan. Terkait dalam kontek persatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Sudah saatnya, organisasi-organisasi ke-agamaan menyampingkan kepentingan kelompoknya dalam masalah penentuan 1 Syawal, dengan menggunakan dasar agama, karena pemerintah juga menggunakan dasar yang kuat.

Tanpa mengecilkan perbedaan pendapat yang terjadi. Kaluapun harus berbeda dalam masalah ini, semoga tidak menjadikan masalah di kalangan masyarakat Indonesia. Sudah menjadi ketentuan tuhan, bahwa manusia memang diciptakan dengan beragam dan berbeda-beda. QS Huud (11:118-119) yang artinya:’’ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka.  Dalam redaksi lainya, Allah Swt menjelaskan bahwa setiap kelompok itu merasa bangga, QS al-Mukminun (23:53) yang artinya:’’Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)

Semoga, penentuan 1 Syawal benar-benar seragam, sesuai dengan intruksi pemerintah pusat melalui keputusan Isbats Depag. Kebersamaan itu akan menjadi lambang kekuatan dan persatuan bangsa Indonesia, di dalam membangun masyarakat yang madani dan maju. Dan, bagi yang berbeda, semoga bukan karena karena politik dan kelompoknya, karena ini dikecam oleh al-Qur’an, dan Nabi Saw juga tidak menyukainya.

Tentang Abdul Adzim

Abdul Adzim Irsad, telah menyelesaikan pendidikan sarjana bahasa Arab di Umm Al-Qura University Makkah, sekarang sedang menempuh program S3, jurusan pendidikan bahasa Arab di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pos ini dipublikasikan di Bulan Suci Ramdhan dan tag , , . Tandai permalink.

2 Balasan ke Politisasi Penentuan Hari Raya Idul Fitri

  1. tom berkata:

    Saya setuju dengan pernyataan blog Anda alangkah indahnyakalau hari raya berbarengan. Tapi saya melihat sidang tadi malam ada 2 perukyat yang melihat bulan pendapatnya ditolak dengan alasan kalau perhitungan hisabnya kurang 2 derajat berdasarkan pengalaman tidak terlihat bulan. Jaman nabi kalau ada yang melihat bulan 1 orang cukup disumpah orang tersebut hari raya akan jatuh pada esok harinya, tapi itu tidak dilakukan. Sebetulnya ilmu falakiah adalah ilmu pasti apalagi dengan kecanggihan teknologi. Saya melihatnya sederhana masalah tadi malam seperti pertambahan 1+1 berapa hasilnya. Kita pasti tahu jawabannya. Kalau sudah tahu apakah perlu menggunakan kalkulator untuk menghitunganya. Misal kalau kita membuktikan dengan menggunakan kalkulator 10 buah yang 9 menghasilkan 2 sedangkan yang 1 menghasilkan 3 pasti kita akan menolak kalkulator yang menghasilkan 3 dan kita nyatakan kalkulator itu error. Apakah tindakan menghitung sesuatu yang sudah kita tahu perlu dilakukan seperti itu… Kenapa tidak dinyatakan langsung saja sebelum dilakukan perhitungan dengan kalkulator toh hasilnya sama dengan yang kita duga sebelumnya.
    Kalau hitung menghitung 1+1 sangat sederhana tapi kalau penentuan hari raya sangat komplek karena memiliki banyak aspek agama sosial budaya dan tradisi masyarakat yang berlebaran saling memaaf-maafkan. Alangkah baiknya pemirintah dapat menyatukan perbedaan itu dengan kompromi perhitungan hisab dengan sistem wujudul hillal (misal teloransi 1-2 derajat) atau hisab murni ( 0 derajat) tergantung dari kesepakatan ulama dan masing harus punya komitmen untuk menaatinya serta ditentukan jauh hari sehingga kegiatan lebaran lebih pasti. Seperti yang telah dilakukan dalam menjalankan ibadah sholat dan puasa. Kita sudah ada jadwal kapan sholat duhur tidak perlu melihat matahari. Kapan kita buka puasa tidak perlu melihat matahari terbenam dan kapan kita tidak boleh makan lagi saat saur kita sudah percaya jadwal yang dibuat ahli hisab. Kalau ibadah sehari-hari percaya ahli hisab kenapa idul fitri dan idul adha tidak? Mohon pemerintah bisa memikirkannya……..alangkah indahnya kalau dapat idul fitri bisa bersama.

Tinggalkan komentar